Rabu, 21 Oktober 2015

Kesayangan

Ini adalah kisahku dengan kedua sahabatku, Kelly dan Arif. Aku sudah lama bersahabat dengan mereka, tapi baru beberapa tahun ini kami sering jalan bertiga. Karena aku satu sekolah dengan Kelly tapi berbeda komplek perumahan, sedangkan dengan Arif aku satu komplek tapi berbeda sekolah. Barulah kami sering bertiga karena kami memilih kampus yang sama, bahkan kami memasuki kelas yang sama. Bahagiaku berkali lipat dengan berkumpulnya mereka di sekitarku, tapi tidak semenjak setahun yang lalu.
****
2014.
“Ca, gue mau curhat deh. Sebenernya gue ga yakin sih, tapi gua udah ga kuat buat mendem lagi,” ucap Kelly pelan.
“Atuh jangan curhat kalo gitu caranya, Kel,” ujarku sambil mengernyitkan dahi. Aku memang bukan tipe orang yang senang memaksa seseorang untuk curhat kepadaku. Kepoku tidak setingkat dewa.
“Hmmm tapi gue pengen, Ca. Dengerin ya? Pliiiisss,” pintanya dengan muka memelas.
“Ya ampun biasanya juga gua dengerin, Kel,” aku berdecak, “mau curhat tentang apa? Jarang-jarang lu begini.”
“Tentang Arif.”
“Kenapa sama Arif?” tanyaku bingung.
Kelly menghela nafas panjang. “Gue suka sama dia, Ca. Salah ga sih gue? Gue selama ini udah nahan buat ga suka sama dia, Ca, tapi siapa sih yang bisa ngatur hati seseorang selain Tuhan kita sendiri? Gue bingung harus gimana.”
Aku terpaku mendengarnya. Dalam sekejap perasaan bersalah menelisik hatiku. Aku memalingkan wajah ke samping. Mencoba untuk menutupi keterkejutanku dengan cerita Kelly barusan.
“Woy, Ca! Clarissa! Gosh, dia malah bengong,” keluh Kelly.
Aku tergagap. “Eh kenapa, Kel? Hehe.”
“Gue harus gimana ini ke Arif? Gue tau sih dia ga suka sama gue, tapi gua pengen dia tau kalo gue suka sama dia.”
Aku tersenyum kecut. “Coba aja dulu, Kel. Gada salahnya juga kan? Hati orang kan gada yang tau,” ucapku mencoba menyemangatinya.
“Gitu ya, Ca? Oke deh,” ujarnya sambil tersenyum lebar.
Aku memandang setiap tingkahnya. Kelly adalah sahabat perempuanku satu-satunya. Dia benar-benar perempuan yang sangat baik, anggun, serta cantik dengan banyak penggemar. Kadang aku minder jika harus berdampingan dengannya, sangat jauh berbeda.
Lamunanku buyar dengan kedatangan Arif. Dia mengangkat kedua tangannya sambil memperlihatkan sederetan gigi putihnya. Dengan segera, aku dan Kelly menjulurkan tangan untuk ber-hifive ria. Kami tertawa bersama.
Arif. Dia adalah sahabatku sejak aku kecil. Dia selalu menjagaku dari orang-orang yang sering menjahiliku. Bahkan aku tidak pernah melihatnya berduaan dengan perempuan selain aku dan keluarganya. Aku dan Arif mempunyai rahasia. Arif menyukaiku, tetapi aku (mungkin) hanya menganggapnya sebatas sahabat saja. Arif tidak pernah menyerah hingga saat ini, dia hanya lebih menjaga sikapnya.
“Rif, katanya abang lu baru buka restoran ya?” tanya Kelly.
“Iya. Kesana yuk. Gua gratisin deh,” jawab Arif.
“Yang punya abang lu kenapa lu yang gratisin? Macem-macem deh lo,” ujarku ketus.
“Hehe kalo ada lu mah masalah kelar, Ca. Pasti dibolehin. Abang gua kalo ngeliat lu kayak ngeliat duit berjalan kok.”
“Apa hubungannya gilak? Nyari mati lu?” tanyaku sengit.
“Lu kenapa dah, Ca? Tumbenan amat,” tanya Kelly bingung.
Aku salah tingkah. “Kel, gua ke perpus dulu ya. Ada urusan sebentar. Kalo pada mau ke restoran abang duluan aja, ntar gua nyusul,” ucapku pada Kelly sambil mengedipkan sebelah mata. Kelly mengangguk semangat.
Aku beranjak pergi meninggalkan mereka berdua. Sebenarnya aku hanya pergi untuk menenangkan hatiku. Aku tidak sanggup melihat mata Kelly yang berbinar penuh kasih terhadap Arif.
Ponselku bergetar. Ada chat masuk.
Arif : Lu kenapa pergi? Gue kan ga biasa pergi berduaan doang sama cewek, Ca.
Aku : Mulai biasain dong, Rif. Biar lu ga jones mulu. Miris gua liat lu yang cuma bisa meluk guling.
Arif : Kan ada lu yang bisa gua peluk :3
Aku : Ish ogah gua dipeluk-peluk sama lu. Bau.
Arif : Yee sorry ya. Gua ga pernah bau. Ketek gua aja selalu wangi.
Aku tertawa membacanya. Arif bukanlah lelaki yang mudah marah, dan dia sudah mulai bisa meluluhkan hatiku.
****
2015.
“Udah setaun dan lu masih aja suka pergi ninggalin gua berdua sama Kelly. Kenapa sih?” tanya Arif.
“Hah? Gada apa-apa kok. Emang harus ada apa-apa ya?” tanyaku balik.
“Kebiasaan. Kalo ga mau jawab ga usah nanya balik,” balasnya kesal.
Kelly berlari menghampiri kami. “Gila rame banget diluar. Demo apaan lagi sih?” keluhnya.
Aku hanya mengangkat bahu, tanda tidak tahu. Ketika aku hendak berdiri, tanganku ditahan dan dipaksa untuk duduk. Aku mengerang dan langsung menoleh ke Arif. Mataku membulat. Baru kali ini aku melihat kemarahan di matanya karenaku. Aku memalingkan wajah. Aku merasakan tanganku dilepas oleh Arif, tapi dia tetap fokus melihat wajahku.
“Hmm kalian berdua kenapa?” tanya Kelly.
“Gada apa-apa,” jawabku dan Arif bersamaan. Kelly menatap kami bingung.
“Kel, sehat? Muka lu pucet banget njir,” ucap Arif panik. Aku menghampiri Kelly. Peluh sedari tadi tidak berhenti dan badannya dingin.
“Oh mungkin gara-gara gue ga pake lipstick, Rif, hehe,” dustanya.
“Ga usah boong. Ayo coba kita periksa. Gua takut ada apa-apa sama lu,” ujarku khawatir.
Aku menuntunnya menuju UKS kampus. Dokter langsung memeriksa kondisi Kelly setelah dia berbaring. Aku meremas jemari tanganku. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Aku tahu Kelly memang punya daya tahan tubuh yang lemah, tapi baru kali ini aku melihatnya pingsan. Jantungku mulai berdetak tak karuan karena semua pemikiran-pemikiran buruk yang melintas di otakku. Arif menggenggam tanganku untuk menenangkanku. Aku hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Tuhan, tolong selamatkanlah sahabatku, tolong, doaku dalam hati.
“Kita bawa ke rumah sakit aja. Dia perlu diperiksa lebih lanjut. Saya ga punya alatnya disini. Tolong hubungi orang tuanya ya,” perintah si dokter dan berjalan menuju telepon untuk menghubungi rumah sakit.
Aku mengambil ponselku. Aku menelepon Tante Anna, mama Kelly, dengan tergesa-gesa. Setelah deringan kelima, teleponku diangkat. Aku menjelaskan singkat tentang keadaan Kelly dan segera menyuruhnya ke rumah sakit.
Aku memaksa ikut naik ambulan untuk menemani Kelly. Aku tidak mau melewatkan apapun tentangnya. Selama perjalanan ke rumah sakit, aku menggenggam erat tangannya dengan air mata yang tidak berhenti mengalir dari kedua mataku. Kelly sudah dipasang infus dan alat bantu pernafasan. Firasatku mulai tak enak.
Kelly segera dibawa ke ruang UGD. Aku mondar-mandir di depan ruangan. Cemas menunggu Tante Anna dan Arif yang masih di perjalanan, serta keadaan Kelly yang makin memburuk.
Arif menyusulku bersama dengan Tante Anna beberapa menit kemudian. Tante Anna menangis sambil terduduk di bangku rumah sakit. Aku memeluknya.
“Tante takut Kelly kenapa-napa. Akhir-akhir ini dia selalu bilang kalo dia udah sehat dan ga perlu berobat. Nyatanya dia sekarang lagi operasi dan Tante ga bisa nemenin dia disana, Ca. Tante udah ga punya siapa-siapa lagi,” sesal Tante Anna.
“Aku juga takut dia kenapa-napa, Tan. Dia sahabat perempuanku satu-satunya,” air mata mulai menggenang kembali di pelupuk mataku.
“Tante tau selama ini dia kesepian. Hampir tiap hari dia selalu meluk foto Papanya kalo tidur. Tapi sayangnya Tante ga bisa buat nemenin dia ngunjungin Papanya karena duit yang Tante kumpulin masih belom cukup. Ibu macam apa Tante ini?” ujarnya pilu. Papanya Kelly meninggal semenjak Kelly masih SMP dan dimakamkan di kampung halamannya, San Fransisco.
Aku hanya mampu diam. Aku tahu Kelly sangat dekat dengan mendiang Papanya. Kelly selalu bilang jika orang-orang selalu mengatakan dia jiplakan dari Papanya, dan setelah itu dia pasti tertawa dengan mata menerawang.
Kejadian-kejadian saat aku bersama Kelly terulang kembali. Bahagianya, tawanya, kekonyolannya, tangisnya, semua berputar jadi satu di otakku. Aku memejamkan mata. Menikmati kenangan-kenangan yang terekam olehku.
Aku membuka mataku cepat dan menggelengkan kepala. Apa yang aku pikirkan? Kelly masih ada disini. Dia hanya sedang berjuang melawan penyakitnya, omelku dalam hati. Aku menoleh ke samping untuk melihat keadaan Tante Anna. Ternyata dia tertidur sambil menunduk. Aku tersenyum kecil melihatnya, setidaknya dia akan merasa tenang setelah bangun nanti.
“Nih minum. Gua tau lu butuh minum gara-gara abis nangis tadi,” kata Arif sambil menyodorkan air minum ke arahku. Aku menerimanya sambil tersenyum dan meneguk setengah isinya.
Hening. Hanya ramai karena orang yang berlalu lalang didepanku. Tiba-tiba pintu UGD terbuka. Tante Anna segera berdiri dengan sedikit terhuyung. Dengan sigap aku menahannya dari belakang. Tante Anna tersenyum terima kasih padaku dan aku hanya mengangguk.
“Gimana keadaan anak saya, Dok?” tanya Tante Anna cemas. Dokter menggeleng.
“Kami sudah melakukan yang terbaik untuknya, tapi dia mengalami pendarahan hebat di beberapa bagian tubuhnya. Trombositnya mengalami penurunan yang sangat drastis akibat dari penyakit lupusnya. Kondisi tubuhnya juga makin memburuk karena dia tidak berobat secara teratur. Maafkan saya, Bu,” jelas Dokter dengan penuh penyesalan.
Tante Anna menggeleng tidak percaya. Tante Anna menangis sambil menahan isakan yang semakin keras terdengar. Terlihat jelas jika ia sangat terpukul. Ia menangis sambil terduduk. Memukul-mukul dadanya sendiri. Aku dan Arif yang melihatnya hanya dapat terdiam, tidak mampu untuk menenangkannya. Badanku gemetar hebat, tanganku terkepal dan mataku hanya menatap kosong ruangan di depanku. Arif menarikku dalam pelukannya dan dalam sekejap air mataku tumpah membasahi bajunya. Aku dapat merasakan bahwa dia pun ikut menangis.
Hari ini, aku kehilangan sahabat yang paling aku cinta. Aku masih tidak percaya Tuhan memanggilmu begitu cepat. Maafkan segala kesalahan yang kuperbuat, Kel. Terima kasih atas semua kenangan indah yang kita lalui bersama. Aku menyayangimu dengan tulus.
****
Keesokan harinya, aku menghadiri pemakaman Kelly dengan teman-teman sekelasku, termasuk Arif. Dia selalu menggenggam tanganku dan aku tidak merasa keberatan. Aku memang butuh dia.
Acara pemakaman selesai. Satu per satu orang meninggalkan tempat itu hingga hanya menyisakan aku, Arif, dan Tante Anna yang masih bersimpuh sambil mengusap nisan anaknya. Tante Anna merogoh tas kecilnya dan menyerahkan surat kepadaku.
“Titipan dari Kelly. Dia ngasih itu ke Tante tiga hari yang lalu. Dia nyuruh Tante buat ngasih ke kamu kalo dia lagi kenapa-napa,” suara Tante Anna mulai bergetar, “siapa yang nyangka kalo kemaren adalah hari terakhirnya?”
Air mata mulai memenuhi pelupuk maataku. Sekuat tenaga aku menahannya agar Tante Anna tidak ikut menangis lagi. “Makasih, Tan,” ucapku parau.
Tante Anna tersenyum. “Mama udah ngelakuin apa yang kamu pinta ya. Kamu bisa pergi dengan damai sekarang. Mama udah ikhlas. Baik-baik ya disana, semoga cepet ketemu sama Papa,” air mata mulai menetes dari kedua mata Tante Anna tapi dengan cepat dihapus olehnya.
“Yuk pulang. Udah mulai panas juga disini,” ajaknya padaku dan Arif. Kami hanya mengangguk. Kami berjalan beriringan dalam diam. Masih sibuk bergulat dengan pikiran masing-masing.
“Nah, Tante duluan ya. Kalo mau maen sama Tante bilang aja, nanti Tante luangin waktu deh,” ujarnya sambil tertawa kecil, “tapi kemungkinan besar Tante bakal pindah rumah. Mau cari apartemen aja. Rumah yang itu terlalu besar buat ditinggal sendiri.”
“Yakin Tante mau pindah?” tanyaku ragu.
“Iya. Kenapa?”
Aku dan Arif bertatapan sejenak. “Bukannya itu rumah peninggalan dari Papanya Kelly, Tan? Tante yakin mau pindah?” tanya Arif.
“Entahlah. Nanti Tante kabarin lagi ya. Tante mau pulang dulu,” pamitnya sambil tersenyum lemah.
“Hati-hati ya, Tan,” ucapku dan Arif bersamaan sambil melambaikan tangan. Kami melangkahkan kaki menuju mobil Arif dan menaikinya. Aku menatap surat yang ada di tanganku dan akhirnya memilih untuk membacanya sekarang.

Hai, Caaaaaaaaaa, sahabatku yang paling manis sedunia hehe
Kalo kamu baca surat ini sekarang, berarti aku udah gada di dunia ini. Kamu tau kan aku paling ga bisa capek dan harus selalu cukup istirahat? Well, aku udah bisa nerimanya.
Kamu tau kan kalo aku suka sama Arif? Tapi aku juga tau kalo Arif suka sama kamu. Aku udah tau kok dari awal dan bodohnya aku masih tetep aja cerita ke kamu. Kamu ga perlu nyembunyiin perasaan kamu sekarang. Aku udah gada dan gada lagi penghalang kamu buat bersama dia sekarang.
Percaya deh sama aku, dia ga pernah berhenti cerita tentang kamu kalo lagi sama aku. Aku pun tak masalah dengan itu. Cinta tak harus memiliki kan? Menurutku, yang terpenting adalah cinta tidak perlu membuat yang lainnya merasa terugikan. Setuju ga sama aku?
Aku berharap kalian dapat bersama selalu, entah dalam status sahabat, pacar, bahkan suami-istri sekalipun. Tapi aku berharap option yang terakhir sih, hehe. Kalian pasangan yang manis lho!
Cukup deh suratnya. Aku menyayangi kalian dari lubuk hatiku yang terdalam. Sampai jumpa <3

Surat itu berakhir. Aku menggenggamnya dengan erat. Aku merindukannya. Aku merindukan tawa riangnya. Air mata mulai menetes membasahi surat. Dengan cepat aku membersihkan surat itu dari air mata yang makin lama makin deras. Arif merebut surat itu dan membacanya.
Aku menutup mulutku dengan punggung tangan agar isakanku tidak terdengar. Aku mencoba mengatur nafasku tetapi tidak berhasil. Air mata masih terus saja mengalir. Aku mencoba mengelus dadaku.
“Kita ga salah milih sahabat, Ca,” ucap Arif.
“Iya makanya Tuhan ngambil Kelly duluan karena Dia terlalu sayang,” ujarku pelan.
“Ikhlasin, Ca. Jangan bikin dia keganggu karna rasa bersalah lu.”
Aku mengangguk dan memejamkan mata.
Kel, aku udah ngikhlasin kamu. Maafin aku yang ga sepenuhnya jujur ke kamu, tapi percaya ya kalo aku selalu berusaha ngasih yang terbaik buat kamu. Salam rinduku untukmu, Kelly.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar