Ini adalah kisahku dengan kedua
sahabatku, Kelly dan Arif. Aku sudah lama bersahabat dengan mereka, tapi baru
beberapa tahun ini kami sering jalan bertiga. Karena aku satu sekolah dengan
Kelly tapi berbeda komplek perumahan, sedangkan dengan Arif aku satu komplek
tapi berbeda sekolah. Barulah kami sering bertiga karena kami memilih kampus yang sama, bahkan kami memasuki kelas yang sama. Bahagiaku berkali lipat dengan berkumpulnya mereka di sekitarku,
tapi tidak semenjak setahun yang lalu.
****
2014.
“Ca, gue mau curhat deh. Sebenernya
gue ga yakin sih, tapi gua udah ga kuat buat mendem lagi,” ucap Kelly pelan.
“Atuh jangan curhat kalo gitu
caranya, Kel,” ujarku sambil mengernyitkan dahi. Aku memang bukan tipe orang
yang senang memaksa seseorang untuk curhat kepadaku. Kepoku tidak setingkat dewa.
“Hmmm tapi gue pengen, Ca.
Dengerin ya? Pliiiisss,” pintanya dengan muka memelas.
“Ya ampun biasanya juga gua
dengerin, Kel,” aku berdecak, “mau curhat tentang apa? Jarang-jarang lu
begini.”
“Tentang Arif.”
“Kenapa sama Arif?” tanyaku
bingung.
Kelly menghela nafas panjang.
“Gue suka sama dia, Ca. Salah ga sih gue? Gue selama ini udah nahan buat ga
suka sama dia, Ca, tapi siapa sih yang bisa ngatur hati seseorang selain Tuhan
kita sendiri? Gue bingung harus gimana.”
Aku terpaku mendengarnya. Dalam
sekejap perasaan bersalah menelisik hatiku. Aku memalingkan wajah ke samping.
Mencoba untuk menutupi keterkejutanku dengan cerita Kelly barusan.
“Woy, Ca! Clarissa! Gosh, dia malah bengong,” keluh Kelly.
Aku tergagap. “Eh kenapa, Kel?
Hehe.”
“Gue harus gimana ini ke Arif?
Gue tau sih dia ga suka sama gue, tapi gua pengen dia tau kalo gue suka sama
dia.”
Aku tersenyum kecut. “Coba aja
dulu, Kel. Gada salahnya juga kan? Hati orang kan gada yang tau,” ucapku
mencoba menyemangatinya.
“Gitu ya, Ca? Oke deh,” ujarnya sambil
tersenyum lebar.
Aku memandang setiap tingkahnya.
Kelly adalah sahabat perempuanku satu-satunya. Dia benar-benar perempuan yang
sangat baik, anggun, serta cantik dengan banyak penggemar. Kadang aku minder
jika harus berdampingan dengannya, sangat jauh berbeda.
Lamunanku buyar dengan kedatangan
Arif. Dia mengangkat kedua tangannya sambil memperlihatkan sederetan gigi
putihnya. Dengan segera, aku dan Kelly menjulurkan tangan untuk ber-hifive ria. Kami tertawa bersama.
Arif. Dia adalah sahabatku sejak
aku kecil. Dia selalu menjagaku dari orang-orang yang sering menjahiliku.
Bahkan aku tidak pernah melihatnya berduaan dengan perempuan selain aku dan keluarganya. Aku
dan Arif mempunyai rahasia. Arif menyukaiku, tetapi aku (mungkin) hanya
menganggapnya sebatas sahabat saja. Arif tidak pernah menyerah hingga saat ini,
dia hanya lebih menjaga sikapnya.
“Rif, katanya abang lu baru buka
restoran ya?” tanya Kelly.
“Iya. Kesana yuk. Gua gratisin
deh,” jawab Arif.
“Yang punya abang lu kenapa lu
yang gratisin? Macem-macem deh lo,” ujarku ketus.
“Hehe kalo ada lu mah masalah
kelar, Ca. Pasti dibolehin. Abang gua kalo ngeliat lu kayak ngeliat duit
berjalan kok.”
“Apa hubungannya gilak? Nyari
mati lu?” tanyaku sengit.
“Lu kenapa dah, Ca? Tumbenan
amat,” tanya Kelly bingung.
Aku salah tingkah. “Kel, gua ke
perpus dulu ya. Ada urusan sebentar. Kalo pada mau ke restoran abang duluan
aja, ntar gua nyusul,” ucapku pada Kelly sambil mengedipkan sebelah mata. Kelly
mengangguk semangat.
Aku beranjak pergi meninggalkan
mereka berdua. Sebenarnya aku hanya pergi untuk menenangkan hatiku. Aku tidak
sanggup melihat mata Kelly yang berbinar penuh kasih terhadap Arif.
Ponselku bergetar. Ada chat masuk.
Arif : Lu kenapa pergi? Gue kan ga biasa pergi berduaan doang sama
cewek, Ca.
Aku : Mulai biasain dong, Rif. Biar lu ga jones mulu. Miris gua
liat lu yang cuma bisa meluk guling.
Arif : Kan ada lu yang bisa gua peluk :3
Aku : Ish ogah gua dipeluk-peluk sama lu. Bau.
Arif : Yee sorry ya. Gua
ga pernah bau. Ketek gua aja selalu wangi.
Aku tertawa membacanya. Arif
bukanlah lelaki yang mudah marah, dan dia sudah mulai bisa meluluhkan hatiku.
****
2015.
“Udah setaun dan lu masih aja
suka pergi ninggalin gua berdua sama Kelly. Kenapa sih?” tanya Arif.
“Hah? Gada apa-apa kok. Emang
harus ada apa-apa ya?” tanyaku balik.
“Kebiasaan. Kalo ga mau jawab ga
usah nanya balik,” balasnya kesal.
Kelly berlari menghampiri kami.
“Gila rame banget diluar. Demo apaan lagi sih?” keluhnya.
Aku hanya mengangkat bahu, tanda
tidak tahu. Ketika aku hendak berdiri, tanganku ditahan dan dipaksa untuk duduk.
Aku mengerang dan langsung menoleh ke Arif. Mataku membulat. Baru kali ini aku
melihat kemarahan di matanya karenaku. Aku memalingkan wajah. Aku merasakan
tanganku dilepas oleh Arif, tapi dia tetap fokus melihat wajahku.
“Hmm kalian berdua kenapa?” tanya
Kelly.
“Gada apa-apa,” jawabku dan Arif
bersamaan. Kelly menatap kami bingung.
“Kel, sehat? Muka lu pucet banget
njir,” ucap Arif panik. Aku menghampiri Kelly. Peluh sedari tadi tidak berhenti
dan badannya dingin.
“Oh mungkin gara-gara gue ga pake
lipstick, Rif, hehe,” dustanya.
“Ga usah boong. Ayo coba kita
periksa. Gua takut ada apa-apa sama lu,” ujarku khawatir.
Aku menuntunnya menuju UKS kampus.
Dokter langsung memeriksa kondisi Kelly setelah dia berbaring. Aku meremas
jemari tanganku. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Aku tahu Kelly memang punya
daya tahan tubuh yang lemah, tapi baru kali ini aku melihatnya pingsan.
Jantungku mulai berdetak tak karuan karena semua pemikiran-pemikiran buruk yang
melintas di otakku. Arif menggenggam tanganku untuk menenangkanku. Aku hanya
menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Tuhan, tolong selamatkanlah sahabatku, tolong, doaku dalam hati.
“Kita bawa ke rumah sakit aja.
Dia perlu diperiksa lebih lanjut. Saya ga punya alatnya disini. Tolong hubungi orang
tuanya ya,” perintah si dokter dan berjalan menuju telepon untuk menghubungi
rumah sakit.
Aku mengambil ponselku. Aku menelepon
Tante Anna, mama Kelly, dengan tergesa-gesa. Setelah deringan kelima, teleponku
diangkat. Aku menjelaskan singkat tentang keadaan Kelly dan segera menyuruhnya
ke rumah sakit.
Aku memaksa ikut naik ambulan
untuk menemani Kelly. Aku tidak mau melewatkan apapun tentangnya. Selama
perjalanan ke rumah sakit, aku menggenggam erat tangannya dengan air mata yang
tidak berhenti mengalir dari kedua mataku. Kelly sudah dipasang infus dan alat
bantu pernafasan. Firasatku mulai tak enak.
Kelly segera dibawa ke ruang UGD.
Aku mondar-mandir di depan ruangan. Cemas menunggu Tante Anna dan Arif yang
masih di perjalanan, serta keadaan Kelly yang makin memburuk.
Arif menyusulku bersama dengan
Tante Anna beberapa menit kemudian. Tante Anna menangis sambil terduduk di
bangku rumah sakit. Aku memeluknya.
“Tante takut Kelly kenapa-napa.
Akhir-akhir ini dia selalu bilang kalo dia udah sehat dan ga perlu berobat.
Nyatanya dia sekarang lagi operasi dan Tante ga bisa nemenin dia disana, Ca.
Tante udah ga punya siapa-siapa lagi,” sesal Tante Anna.
“Aku juga takut dia kenapa-napa,
Tan. Dia sahabat perempuanku satu-satunya,” air mata mulai menggenang kembali
di pelupuk mataku.
“Tante tau selama ini dia
kesepian. Hampir tiap hari dia selalu meluk foto Papanya kalo tidur. Tapi
sayangnya Tante ga bisa buat nemenin dia ngunjungin Papanya karena duit yang
Tante kumpulin masih belom cukup. Ibu macam apa Tante ini?” ujarnya pilu. Papanya Kelly meninggal semenjak Kelly masih SMP dan dimakamkan di kampung halamannya, San
Fransisco.
Aku hanya mampu diam. Aku tahu
Kelly sangat dekat dengan mendiang Papanya. Kelly selalu bilang jika orang-orang
selalu mengatakan dia jiplakan dari Papanya, dan setelah itu dia pasti tertawa dengan
mata menerawang.
Kejadian-kejadian saat aku
bersama Kelly terulang kembali. Bahagianya, tawanya, kekonyolannya, tangisnya,
semua berputar jadi satu di otakku. Aku memejamkan mata. Menikmati kenangan-kenangan
yang terekam olehku.
Aku membuka mataku cepat dan
menggelengkan kepala. Apa yang aku
pikirkan? Kelly masih ada disini. Dia hanya sedang berjuang melawan penyakitnya,
omelku dalam hati. Aku menoleh ke samping untuk melihat keadaan Tante Anna. Ternyata
dia tertidur sambil menunduk. Aku tersenyum kecil melihatnya, setidaknya dia
akan merasa tenang setelah bangun nanti.
“Nih minum. Gua tau lu butuh
minum gara-gara abis nangis tadi,” kata Arif sambil menyodorkan air minum ke
arahku. Aku menerimanya sambil tersenyum dan meneguk setengah isinya.
Hening. Hanya ramai karena orang
yang berlalu lalang didepanku. Tiba-tiba pintu UGD terbuka. Tante Anna segera
berdiri dengan sedikit terhuyung. Dengan sigap aku menahannya dari belakang.
Tante Anna tersenyum terima kasih padaku dan aku hanya mengangguk.
“Gimana keadaan anak saya, Dok?”
tanya Tante Anna cemas. Dokter menggeleng.
“Kami sudah melakukan yang
terbaik untuknya, tapi dia mengalami pendarahan hebat di beberapa bagian tubuhnya. Trombositnya mengalami penurunan yang sangat drastis akibat dari penyakit lupusnya. Kondisi tubuhnya juga makin memburuk karena dia
tidak berobat secara teratur. Maafkan saya, Bu,” jelas Dokter
dengan penuh penyesalan.
Tante Anna menggeleng tidak
percaya. Tante Anna menangis sambil menahan isakan yang semakin keras terdengar.
Terlihat jelas jika ia sangat terpukul. Ia menangis sambil terduduk.
Memukul-mukul dadanya sendiri. Aku dan Arif yang melihatnya hanya dapat
terdiam, tidak mampu untuk menenangkannya. Badanku gemetar hebat, tanganku
terkepal dan mataku hanya menatap kosong ruangan di depanku. Arif menarikku
dalam pelukannya dan dalam sekejap air mataku tumpah membasahi bajunya. Aku
dapat merasakan bahwa dia pun ikut menangis.
Hari ini, aku kehilangan sahabat yang paling aku cinta. Aku masih tidak
percaya Tuhan memanggilmu begitu cepat. Maafkan segala kesalahan yang kuperbuat,
Kel. Terima kasih atas semua kenangan indah yang kita lalui bersama. Aku
menyayangimu dengan tulus.
****
Keesokan harinya, aku menghadiri
pemakaman Kelly dengan teman-teman sekelasku, termasuk Arif. Dia selalu
menggenggam tanganku dan aku tidak merasa keberatan. Aku memang butuh dia.
Acara pemakaman selesai. Satu per
satu orang meninggalkan tempat itu hingga hanya menyisakan aku, Arif, dan Tante Anna yang
masih bersimpuh sambil mengusap nisan anaknya. Tante Anna merogoh tas kecilnya
dan menyerahkan surat kepadaku.
“Titipan dari Kelly. Dia ngasih
itu ke Tante tiga hari yang lalu. Dia nyuruh Tante buat ngasih ke kamu kalo dia
lagi kenapa-napa,” suara Tante Anna mulai bergetar, “siapa yang nyangka kalo
kemaren adalah hari terakhirnya?”
Air mata mulai memenuhi pelupuk
maataku. Sekuat tenaga aku menahannya agar Tante Anna tidak ikut menangis lagi.
“Makasih, Tan,” ucapku parau.
Tante Anna tersenyum. “Mama udah
ngelakuin apa yang kamu pinta ya. Kamu bisa pergi dengan damai sekarang. Mama
udah ikhlas. Baik-baik ya disana, semoga cepet ketemu sama Papa,” air mata mulai
menetes dari kedua mata Tante Anna tapi dengan cepat dihapus olehnya.
“Yuk pulang. Udah mulai panas
juga disini,” ajaknya padaku dan Arif. Kami hanya mengangguk. Kami berjalan
beriringan dalam diam. Masih sibuk bergulat dengan pikiran masing-masing.
“Nah, Tante duluan ya. Kalo mau
maen sama Tante bilang aja, nanti Tante luangin waktu deh,” ujarnya sambil
tertawa kecil, “tapi kemungkinan besar Tante bakal pindah rumah. Mau cari
apartemen aja. Rumah yang itu terlalu besar buat ditinggal sendiri.”
“Yakin Tante mau pindah?” tanyaku
ragu.
“Iya. Kenapa?”
Aku dan Arif bertatapan sejenak.
“Bukannya itu rumah peninggalan dari Papanya Kelly, Tan? Tante yakin mau pindah?”
tanya Arif.
“Entahlah. Nanti Tante kabarin
lagi ya. Tante mau pulang dulu,” pamitnya sambil tersenyum lemah.
“Hati-hati ya, Tan,” ucapku dan
Arif bersamaan sambil melambaikan tangan. Kami melangkahkan kaki menuju mobil
Arif dan menaikinya. Aku menatap surat yang ada di tanganku dan akhirnya
memilih untuk membacanya sekarang.
Hai, Caaaaaaaaaa, sahabatku yang
paling manis sedunia hehe
Kalo kamu baca surat ini
sekarang, berarti aku udah gada di dunia ini. Kamu tau kan aku paling ga bisa capek
dan harus selalu cukup istirahat? Well,
aku udah bisa nerimanya.
Kamu tau kan kalo aku suka sama Arif?
Tapi aku juga tau kalo Arif suka sama kamu. Aku udah tau kok dari awal dan
bodohnya aku masih tetep aja cerita ke kamu. Kamu ga perlu nyembunyiin perasaan
kamu sekarang. Aku udah gada dan gada lagi penghalang kamu buat bersama dia
sekarang.
Percaya deh sama aku, dia ga
pernah berhenti cerita tentang kamu kalo lagi sama aku. Aku pun tak masalah
dengan itu. Cinta tak harus memiliki kan? Menurutku, yang terpenting adalah
cinta tidak perlu membuat yang lainnya merasa terugikan. Setuju ga sama aku?
Aku berharap kalian dapat bersama
selalu, entah dalam status sahabat, pacar, bahkan suami-istri sekalipun. Tapi
aku berharap option yang terakhir
sih, hehe. Kalian pasangan yang manis lho!
Cukup deh suratnya. Aku
menyayangi kalian dari lubuk hatiku yang terdalam. Sampai jumpa <3
Surat itu berakhir. Aku
menggenggamnya dengan erat. Aku merindukannya. Aku merindukan tawa riangnya.
Air mata mulai menetes membasahi surat. Dengan cepat aku membersihkan surat itu
dari air mata yang makin lama makin deras. Arif merebut surat itu dan
membacanya.
Aku menutup mulutku dengan
punggung tangan agar isakanku tidak terdengar. Aku mencoba mengatur nafasku
tetapi tidak berhasil. Air mata masih terus saja mengalir. Aku mencoba mengelus
dadaku.
“Kita ga salah milih sahabat,
Ca,” ucap Arif.
“Iya makanya Tuhan ngambil Kelly
duluan karena Dia terlalu sayang,” ujarku pelan.
“Ikhlasin, Ca. Jangan bikin dia
keganggu karna rasa bersalah lu.”
Aku mengangguk dan memejamkan
mata.
Kel, aku udah ngikhlasin kamu. Maafin aku yang ga sepenuhnya jujur ke
kamu, tapi percaya ya kalo aku selalu berusaha ngasih yang terbaik buat kamu.
Salam rinduku untukmu, Kelly.