Minggu, 26 April 2020

Waktu

Bila ceritaku ini sama denganmu, maka tidaklah mungkin. Bila kamu percaya cerita ini berdasarkan pengalamanmu, maka kamu salah. Bila kamu bersikeras kita adalah sama, maaf, kita berbeda dalam hal apa pun. Aku, Dominique Yu, seorang perempuan berumur 24 tahun yang masih saja tenggelam dengan lelaki masa lalunya, Kevin Wijaya, yang berumur sama denganku. Aku tak ingat kapan pertama kali kami bertemu. Orang tuaku hanya bilang; kami sudah pindah ke daerah tempat tinggal yang sekarang kami tempati sejak aku masih bayi. Pasti, aku sudah bertemu Kevin sejak saat itu, bukan? Duo kembar, tak sama. Duo kembar, tak identik. Duo kembar berbeda jenis. Kata-kata itu sering aku dan Kevin dengar, tapi kami tidak pernah permasalahkan. Justru kami senang dengan julukan tersebut. Tandanya kami sangat dekat, bukan? Aku selalu menyukai saat-saat aku menghabiskan waktu dengannya. Berapa lama pun kami bermain bersama, aku tak pernah bosan. Berapa lama pun waktu terus berputar, aku hanya senang berada di sisinya. Namun, aku menyadari satu hal; aku tidak pernah menghargai kehadirannya. Aku selalu merasa, sosok Kevin memang ‘seharusnya’ ada di sisiku. Kemana pun Kevin pergi, aku harus selalu di sampingnya, begitu pun sebaliknya. Aku tidak pernah menyangka kepergian Kevin terasa begitu menyakitkan. Sosok dan pribadinya ternyata berarti sangat dalam di hidupku. Pernah suatu hari, aku tak bisa berhenti menangis karena penyakit tifus. Rasa sakitnya membuatku gila, hingga aku tak mampu bicara dan hanya mengeluarkan air mata tiada henti. Namun, disanalah Kevin, tetap duduk setia di sampingku. Meski sorot matanya mengungkap kekhawatiran, ia tetap menggenggam erat tanganku seraya mengucapkan dengan senyum, “Kamu kuat”. Dua kata itu bagaikan mantra. Aku selalu mengangguk dan ikut melafalkan dalam hati serta pikiran. Berkatnya, aku sembuh dan bisa tersenyum kembali untuknya. Aku berniat mengajaknya makan malam di luar sebagai ucapan terima kasih, namun ia mengatakan, “Tidak usah. Senyum lebarmu aku terima sebagai pengganti terima kasih, Domi.” Kepeduliannya tak kenal pamrih. Kebaikannya bagaikan kertas putih tiada noda; begitu tulus dan murni.
Hei, Kevin. Jika aku diperbolehkan mengucapkan kata perpisahan, aku tetap tidak akan mengungkapkannya padamu. Aku takut kita benar-benar berpisah. Aku takut kita benar-benar tidak akan bertemu lagi. Hal itu sangat menakutkan untukku bayangkan. Bolehkah aku cukup mengatakan apa yang selama ini menjadi penyesalanku padamu? Maafkan aku yang tak pernah menyadari kehadiranmu. Sekian banyak waktu yang kita habiskan bersama, tidak memberiku petunjuk betapa berharganya sosokmu. Jika kamu menyesal pernah bertemu denganku, tak apa. Aku baik-baik saja. Kuanggap sebagai balasan atas bodohnya diriku. Jika kita diberi waktu lebih, aku akan bilang pada semesta betapa aku menyukaimu. Aku akan lebih menghargai dirimu. Aku akan mencintai semua yang ada padamu. Terima kasih telah hadir selama 20 tahun hidupku. Terima kasih atas kenangan tak terbatas yang kita ukir bersama. Terima kasih telah menerima aku yang bodoh dan penuh kekurangan ini. Mengenal dirimu, membuatku mengerti arti sebuah kehadiran. Tunggu aku. Jika waktunya tiba, kita akan kembali bersama. Akan kupastikan menebus semua hal yang aku sesali saat kita terpisah. Pada saat itu, tetap genggamlah tanganku. Tetaplah menjadi sosok Kevin yang aku banggakan. Kumohon tetaplah peduli padaku. Bila kamu menemukan keegoisanku, ingatkan aku agar aku tidak menyesal kemudian. Sudah cukup bagiku kehilangan dirimu satu kali. Jika hal itu kembali berulang, aku tidak akan pernah memaafkan diriku lagi meski kamu memintaku untuk melupakannya. Aku akan terus mengirimkan surat padamu. Rindu ini akan selalu jadi milikmu. Hadirmu tetap menjadi cahaya paling terang di hidupku.
Tangerang, 26 April 2020 2:49 am.