Seperti yang dikutip dalam Pasal
1,
“Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.”
Sehingga telekomunikasi dapat
diartikan sebagai teknik pengiriman atau penerimaan informasi melalui alat
telekomunikasi.
Undang-Undang Nomor 36 tentang Telekomunikasi
ini disahkan di Jakarta pada tanggal 8 September 1999 dan ditandatangani oleh
Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, serta diundangkan oleh Menteri Sekretaris
Negara Muladi. Undang-undang ini terdiri dari 9 bab dan 64 pasal.
Undang-Undang Telekomunikasi (secara
resmi bernama Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi) adalah undang-undang yang
mengatur tentang penyelenggaraan dan aturan-aturan yang harus dipenuhi oleh
seluruh penyelenggara dan pengguna telekomunikasi di Indonesia. Hal itu
mencakup tentang asas dan tujuan telekomunikasi, hak dan kewajiban
penyelenggara dan pengguna telekomunikasi, penomoran, interkoneksi, tarif, dan
perangkat telekomunikasi, juga ketentuan pidana dan sanksi. [1]
Contoh Kasus [2]
Regulator telekomunikasi diminta telusuri isu penyadapan telepon SBY-Ketua MUI
![]() |
Basuki Tjahja Purnama di tengah massa pendukung (Foto:Ahok-Djarot.id) |
JAKARTA (IndoTelko) – Komunitas
telekomunikasi meminta Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) serta
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk menelusuri isu adanya
bukti percakapan antara Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma'ruf
Amin dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seperti yang
dilontarkan Terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di
pengadilan pada Selasa (31/1).
“Ahok bisa melanggar
Undang-undang (UU) ITE dan UU Telekomunikasi No 36 Tahun 1999, begitu juga
melanggar HAM berat,” tegas Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan
Masyarakat Informasi Indonesia (LPMII) Kamilov Sagala kepada IndoTelko, Rabu
(1/2).
Menurutnya, karena menyangkut
soal wilayah pribadi yang dijamin UU telekomunikasi, maka Menkominfo dan BRTI
perlu menelusuri serta membuktikan apakah benar penyadapan terjadi. “Kalau
benar bagaimana terjadi dan membawa kasus ini ke jalur hukum. Sebab ini bukan
soal penyadapan mantan Presiden dengan Ketua MUI, sebab berarti ada pelanggaran
terhadap hak perlindungan informasi sesuai UU yang berlaku,” tegasnya.
Dikatakannya, sesuai UU
Telekomunikasi pada pasal 56 menegaskan bahwa pelanggaran terkait soal
penyadapan ini diancam hukuman pidana penjara paling lama 15 tahun.
“Kalau yang bisa sadap itu aparat
hukum dan ada aturannya. KPK bisa sadap tanpa ijin. Kalau Badan Intelijen
Negara (BIN) itu untuk keperluan intelijen. Ini Ahok sadap buat apa? Dia harus
jelaskan itu dapat bukti percakapan dari mana. Bisa bahaya negara kalau semua
bisa main sadap atau dapat bocoran sadapan,” ketusnya.
Sementara Direktur Eksekutif
Indonesia ICT (IndoICT) Heru Sutadi menegaskan jika Kominfo dan BRTI tak
bereaksi, maka akan menggulirkan petisi online untuk meminta dukungan netizen
agar kasus ini terang benderang.
“Di Amerika Serikat saja itu NSA
disorot, ini ada yang bisa dapat bukti percakapan tanpa jelas posisinya.
Komunitas telekomunikasi mendesak menkominfo dan BRTI untuk segera dapat
menelusuri kebenaran informasi soal adanya perekaman informasi yang dilakukan
terhadap pembicaraan yang diklaim dilakukan mantan Presiden SBY dan Ketua Umum
MUI,” katanya.
Heru mengingatkan, isu penyadapan
adalah hal yang sensitif aplagi di era digitalisasi. “Saya tak mau masuk ranah
politik. Saya hanya minta Menkominfo dan jajarannya menjalankan fungsinya
sebagai penegak UU Telekomunikasi. Soalnya ini terindikasi akan terjadinya
pelanggaran pasal 40 UU Telekomunikasi No.36 1999 dimana sesuai pasal 56
ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 15 tahun,” pungkasnya.
Co Founder Indonesia Cloud Forum
Mochammad James Falahuddin menyatakan sudah selayaknya Menkominfo dan mungkin
juga polisi untuk memperjelas duduk masalah ini, karena kalau dibiarkan tentu
mengancam kebebasan warga negara dalam berkomunikasi dan bertukar informasi.
“Beliau bicara itu di pengadilan,
bukan penegak hukum tetapi mengklaim memiliki rekaman pembicaraan. Klaimnya
malah presisi sampai jam, menit, dan isi pembicaraan. Kalau rekaman mantan
Presiden bisa ada di tangan bukan penegak hukum, bagaimana dengan orang
kebanyakan. Ini semua harus dibuat terang benderang. Jangan biarkan warga
negara berada dalam rumah kaca,” teriaknya.
Sebelumnya, dalam persidangan
pada Selasa (31/1), menurut Ahok, Kiai Ma'ruf bertemu dengan salah satu
pasangan calon Pilkada DKI Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono - Sylviana Murni di
Kantor PBNU pada tanggal 7 Oktober 2016. Namun, sebelum pertemuan itu Ahok
menduga Kiai Ma'ruf sempat menerima telepon dari SBY pada tangal 6 Oktober
2017.
Asal tahu saja, dalam UU
Telekomunikasi No.36/1999 melarang setiap orang untuk melakukan penyadapan atau
perekaman informasi. Penyadapan bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum yang
memiliki kewenangan sesuai UU ini dan UU lain seperti dalam kewenangan yang
dimiliki KPK maupun BIN.
Isu penyadapan memang banyak
menimbulkan kontroversi. Soalnya, penyadapan merupakan pelanggaran terhadap
wilayah privat sehingga Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menyatakan bahwa
penyadapan perlu diatur dalam UU tersendiri.(id)
Pendapat
Penyadapan adalah kegiatan yang
dilarang oleh hukum karena telah melanggar hak privasi seseorang dan pengamanan
telekomunikasi, sesuai dengan UU No. 36 tahun 1999 pasal 40,
“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.”
Seperti yang dikatakan oleh Direktur
Eksekutif Indonesia ICT (IndoICT) Heru Sutadi, ketentuan pidana untuk pelaku hukum
penyadapan adalah 15 tahun, sesuai dengan pasal 56,
“Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.“
Perangkat telekomunikasi yang digunakan
juga akan dimusnahkan oleh negara, sesuai dengan pasal 58,
“Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Penyadapan memang diperbolehkan,
namun hanya untuk penyidikan dan sudah mendapat persetujuan dari orang hukum
sebagaimana pasal 42 ayat 2,
“Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku”,
serta ayat 3,
“Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 41 juga menjelaskan,
“Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dengan demikian, penyadapan tanpa
persetujuan pihak pemerintah serta diluar dari pasal yang terkait dan
undang-undang yang berlaku, tetaplah dilarang.
Sumber:
[1]
|
“Regulator telekomunikasi
diminta telusuri isu penyadapan telepon SBY-Ketua MUI,” indotelko.com, 1
Februari 2017. [Online]. Available:
http://www.indotelko.com/kanal?c=rm&it=regulator-telekomunikasi-telusuri-isu-penyadapan.
[Diakses 6 April 2017].
|
[2]
|
“Undang-Undang Telekomunikasi,”
Wikipedia, [Online]. Available:
https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Telekomunikasi. [Diakses 6 April
2017].
|
[3]
|