Kamis, 06 April 2017

UU No. 36 tentang Telekomunikasi dan Contoh Kasusnya

Seperti yang dikutip dalam Pasal 1,
“Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.”
Sehingga telekomunikasi dapat diartikan sebagai teknik pengiriman atau penerimaan informasi melalui alat telekomunikasi.

Undang-Undang Nomor 36 tentang Telekomunikasi ini disahkan di Jakarta pada tanggal 8 September 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, serta diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara Muladi. Undang-undang ini terdiri dari 9 bab dan 64 pasal.

Undang-Undang Telekomunikasi (secara resmi bernama Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi) adalah undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan dan aturan-aturan yang harus dipenuhi oleh seluruh penyelenggara dan pengguna telekomunikasi di Indonesia. Hal itu mencakup tentang asas dan tujuan telekomunikasi, hak dan kewajiban penyelenggara dan pengguna telekomunikasi, penomoran, interkoneksi, tarif, dan perangkat telekomunikasi, juga ketentuan pidana dan sanksi. [1]

Contoh Kasus [2]

Regulator telekomunikasi diminta telusuri isu penyadapan telepon SBY-Ketua MUI


Basuki Tjahja Purnama di tengah massa pendukung (Foto:Ahok-Djarot.id)
JAKARTA (IndoTelko) – Komunitas telekomunikasi meminta Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) serta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk menelusuri isu adanya bukti percakapan antara Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma'ruf Amin dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seperti yang dilontarkan Terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di pengadilan pada Selasa (31/1).

“Ahok bisa melanggar Undang-undang (UU) ITE dan UU Telekomunikasi No 36 Tahun 1999, begitu juga melanggar HAM berat,” tegas Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPMII) Kamilov Sagala kepada IndoTelko, Rabu (1/2).

Menurutnya, karena menyangkut soal wilayah pribadi yang dijamin UU telekomunikasi, maka Menkominfo dan BRTI perlu menelusuri serta membuktikan apakah benar penyadapan terjadi. “Kalau benar bagaimana terjadi dan membawa kasus ini ke jalur hukum. Sebab ini bukan soal penyadapan mantan Presiden dengan Ketua MUI, sebab berarti ada pelanggaran terhadap hak perlindungan informasi sesuai UU yang berlaku,” tegasnya.

Dikatakannya, sesuai UU Telekomunikasi pada pasal 56 menegaskan bahwa pelanggaran terkait soal penyadapan ini diancam hukuman pidana penjara paling lama 15 tahun.

“Kalau yang bisa sadap itu aparat hukum dan ada aturannya. KPK bisa sadap tanpa ijin. Kalau Badan Intelijen Negara (BIN) itu untuk keperluan intelijen. Ini Ahok sadap buat apa? Dia harus jelaskan itu dapat bukti percakapan dari mana. Bisa bahaya negara kalau semua bisa main sadap atau dapat bocoran sadapan,” ketusnya.

Sementara Direktur Eksekutif Indonesia ICT (IndoICT) Heru Sutadi menegaskan jika Kominfo dan BRTI tak bereaksi, maka akan menggulirkan petisi online untuk meminta dukungan netizen agar kasus ini terang benderang.

“Di Amerika Serikat saja itu NSA disorot, ini ada yang bisa dapat bukti percakapan tanpa jelas posisinya. Komunitas telekomunikasi mendesak menkominfo dan BRTI untuk segera  dapat menelusuri kebenaran informasi soal adanya perekaman informasi yang dilakukan terhadap pembicaraan yang diklaim dilakukan mantan Presiden SBY dan Ketua Umum MUI,” katanya.

Heru mengingatkan, isu penyadapan adalah hal yang sensitif aplagi di era digitalisasi. “Saya tak mau masuk ranah politik. Saya hanya minta Menkominfo dan jajarannya menjalankan fungsinya sebagai penegak UU Telekomunikasi. Soalnya ini terindikasi akan terjadinya pelanggaran pasal 40 UU Telekomunikasi No.36 1999 dimana sesuai pasal 56 ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 15 tahun,” pungkasnya.

Co Founder Indonesia Cloud Forum Mochammad James Falahuddin menyatakan sudah selayaknya Menkominfo dan mungkin juga polisi untuk memperjelas duduk masalah ini, karena kalau dibiarkan tentu mengancam kebebasan warga negara dalam berkomunikasi dan bertukar informasi.

“Beliau bicara itu di pengadilan, bukan penegak hukum tetapi mengklaim memiliki rekaman pembicaraan. Klaimnya malah presisi sampai jam, menit, dan isi pembicaraan. Kalau rekaman mantan Presiden bisa ada di tangan bukan penegak hukum, bagaimana dengan orang kebanyakan. Ini semua harus dibuat terang benderang. Jangan biarkan warga negara berada dalam rumah kaca,” teriaknya.

Sebelumnya, dalam persidangan pada Selasa (31/1), menurut Ahok, Kiai Ma'ruf bertemu dengan salah satu pasangan calon Pilkada DKI Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono - Sylviana Murni di Kantor PBNU pada tanggal 7 Oktober 2016. Namun, sebelum pertemuan itu Ahok menduga Kiai Ma'ruf sempat menerima telepon dari SBY pada tangal 6 Oktober 2017.

Asal tahu saja, dalam UU Telekomunikasi No.36/1999 melarang setiap orang untuk melakukan penyadapan atau perekaman informasi. Penyadapan bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan sesuai UU ini dan UU lain seperti dalam kewenangan yang dimiliki KPK maupun BIN. 

Isu penyadapan memang banyak menimbulkan kontroversi. Soalnya, penyadapan merupakan pelanggaran terhadap wilayah privat sehingga Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menyatakan bahwa penyadapan perlu diatur dalam UU tersendiri.(id)

Pendapat

Penyadapan adalah kegiatan yang dilarang oleh hukum karena telah melanggar hak privasi seseorang dan pengamanan telekomunikasi, sesuai dengan UU No. 36 tahun 1999 pasal 40,
“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.”
Seperti yang dikatakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia ICT (IndoICT) Heru Sutadi, ketentuan pidana untuk pelaku hukum penyadapan adalah 15 tahun, sesuai dengan pasal 56,
“Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.“
Perangkat telekomunikasi yang digunakan juga akan dimusnahkan oleh negara, sesuai dengan pasal 58,
“Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Penyadapan memang diperbolehkan, namun hanya untuk penyidikan dan sudah mendapat persetujuan dari orang hukum sebagaimana pasal 42 ayat 2,
“Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku”,
serta ayat 3,
“Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 41 juga menjelaskan,
“Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dengan demikian, penyadapan tanpa persetujuan pihak pemerintah serta diluar dari pasal yang terkait dan undang-undang yang berlaku, tetaplah dilarang.



Sumber:
[1]
“Regulator telekomunikasi diminta telusuri isu penyadapan telepon SBY-Ketua MUI,” indotelko.com, 1 Februari 2017. [Online]. Available: http://www.indotelko.com/kanal?c=rm&it=regulator-telekomunikasi-telusuri-isu-penyadapan. [Diakses 6 April 2017].
[2]
“Undang-Undang Telekomunikasi,” Wikipedia, [Online]. Available: https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Telekomunikasi. [Diakses 6 April 2017].
[3]